Sungguh takdir Allah tiada yang tahu, tiada pula
yang dapat mengubahnya.
Hari itu tepatnya minggu, 01
september 2013 kakakku yang nomor dua syahraeni(eni) melangsungkan walimahannya.
Semua berjalan manis, suka cita dan bahagia. Acara berlangsung dari malam
minggu (acara mappacci di rumah) , acara siang akad nikah sekaligus resepsi
wanita di gedung lasharan garden hingga berlanjut ke malam senin(resepsi
lelaki)
di hotel horison. Semua proses
walimahannya di langsungkan di makassar. Acara
tersebut cukup meriah walaupun sangat melelahkan. Bisa di bilang saat
berlangsungnya walimahan, ayahku adalah orang yang paling bersuka cita, di
sapanya semua tamu yang ia temui dengan baik saat mendampingi kakakku di
pelaminan. Beliau di dampingi ibuku tampak begitu bersemangat mengikuti seluruh
proses walimahan kakakku tanpa memperdulikan kesehat
an dirinya.
Tampak saat acara siang di gedung
lasharan ayah mulai kelelahan. Namun, ia berusaha untuk menutupinya hingga
acara siang selesai. Usai acara siang, rombongan wanita bergegas pergi ke rumah
mempelai pria (marolla), ayah juga pergi bersama ibu dan yang lainnya. Hingga pulang sekitar
pukul 16.30 WITA. Tiba di rumah kembali kami bersiap-siap karena harus kembali
ke acara resepsi pria di hotel horison. Bisa di bayangkan bagaimana letihnya
waktu itu. Namun, anehnya ayahku bersikeras ingin pergi ke hotel padahal kami
semua sudah memberitahunya agar beristirahat saja di rumah. Beliau beralasan
kalau dirinya mungkin di butuhkan disana sehingga harus pergi.
Di hotel, ayahku Cuma sekitar 5
menit mendampingi ibu di pelaminan. Rupanya beliau kelelahan, di tambah rasa
ingin terus buang air karena sebelum berangkat rupanya ia merasa sedikit sakit
di bagian bawah perutnya(sepertinya ginjalnya bermasalah lagi) jadi beliau
meminum obat yang berefek ingin terus
Buang air kecil. Setelah datang dari toilet beliau jalan-jalan di pelataran
hotel kemuadian kembali masuk dan menikmati segelas es buah. Saat sedang
menikmati es, beliau melihat kami yang sedang duduk di pojokan, beliau
menghampiri kami dan duduk bercerita dengan kami. Beliau mulai bercerita dengan
mimik bangganya bahwa ia dari pelataran dan melihat foto eni terpampang di
layar besar pinggir jalan bersama suaminya. Beliau juga bercerita habis melihat
foto-foto eni yang terpampang di bingkai besar depan pintu masuk hotel. Namun,
kami tak begitu menggubrisnya karena kami sudah sangat kelelahan.
tak lama setelah itu, ibupun juga turun dari pelaminan karena mulai lelah,
kamipun meminta izin pamit pulang. Dan sempat berfoto juga bersama mempelai
sebelum pulang kecuali ayah yang memang sudah sangat kelelahan.
Usai keluar dari hotel, kami
langsung bergegas menuju jalan raya menunggu jemputan mobil. Saat menunggu,
ayahpun masih sempatnya sedikit berceloteh. namun kembali, kami tak begitu menggubrisnya.
Herannya, Ia masih sangat bersemangat padahal wajahnya sudah tampak sangat kelelahan.
Dan hampir di selama perjalanan menuju rumah beliau terus berbicara yang
sedikit membuat kami anak-anaknya berpikir apa ayah betul-betul tak kelelahan??
(saking malasnya).
sesampai di rumah aku langsung
mencari pembaringan, ayahku dan yang lainnya masih sempat bercerita di teras
rumah dengan asyiknya. Sesudah itu beliau ke dapur dan menikmati rendang buatan
ibu. Sempat di tegur ibu ‘’ nanti kolesterol naik tuh makan rendang’’, tapi
ayah langsung menjawab’’ lebih tinggi tuh kolesterol udang’’ melihat ibu sedang
menikmati udang goreng.
setelah menyelesaikan makanannya ayah masuk ke kamar untuk tidur seperti
hari-hari lainya. Aku yang sudah pulas tidur di tempat yang biasa ti tiduri
ayah di bangunkan untuk pindah ke kamar sebelah, aku menyetujuinya.
tapi rupanya beliau hanya sebentar saja kemudian beliau berpindah ke ruang tamu
dan tidur di dekat ibuku yang kebetulan lagi terbaring disana bersama anggota
keluarga yang lain.
Tak biasanya memang, untuk
pertama kalinya sejak datang ke makassar ayah mau untuk tidur di ruang tamu
bersama ibu. Padahal di hari-hari
lainnya beliau selalu di kamar sendirian. Ayah terbiasa sendiri sebab jarang
ada yang mau menemaninya tidur disebabkan dengkuran yang ia keluarkan karena
sesak nafas dan itu mengganggu orang yang tidur di sebelahnya.
Hingga tepat pukul 02.00 WITA
dini hari kami semua terbangun, mendengar ayah yang sesak nafas juga tak
sadarkan diri disertai kejang-kejang juga muntah. Dari kondisinya kami meyakini
beliau terkena stroke. Karena minimnya pengetahuan akan pertolongan pertama
bagi penerita stroke kami hanya melakukan tindakan yang di ketahui seadanya
seperti menusuk jarum yang sudah di sterilkan ke jari-jari beliau, namun tak
satupun tusukan jarum yang mengeluarkan darah. Ayah juga belum menyadarkan diri
kami bertambah panik setengah jam berselang di bawalah ayah oleh om,kakak serta
ibuku ke RSUD Daya dekat dari rumah. Sesampai disana, rupanya perlengkapan
medis tak memadai beliau pun di rujuk ke RSUD wahidin untuk mendapatkan
penanganan lebih lanjut.
Aku di rumah menangis, aku
mencoba tenang, dan yakin semua akan baik-baik saja sebab pernah kejadian yang
sama terjadi beberapa bulan silam namun hanya beberapa menit kemudian ayah
kembali normal hanya saja yang membedakan kali ini adalah ayah mengeluarkan
muntahan. Setelah beberapa saat aku mengobrol dengan tanteku, akupun di suruh
untuk lekas kembali tidur agar tidak kelelahan dan bisa menjenguk ayah keesokan
harinya.
Pukul 10.00 WITA pagi, kakakku wana pulang
dari rumah sakit. Aku di suruh kakak untuk mengantarkan ibu makanan. Aku pun
pergi ditemani adikku. Sesampai di sana ternyata ayahku masih berada di UGD
RSUD tersebut. Aku maklum karena rumah sakit tersebut menjadi rumah sakit
rujukan untuk kawasan Timur indonesia jadi sudah sewajarnya pasien banyak yang
mengantri di UGD untuk mendapat ruang perawatan dalam kamar. Rupanya ayahku
masih tertidur. Ada ibu di sampingnya. Kutanyakan pada ibu bagaimana kondiri
ayah, ibu bilang ayah belum dapat berbicara dan membuka matanya tapi beliau
sudah ada respon dengan sedikit bisa memainkan alisnya. Alhamdulillah pikirku.
Sejujurnya aku masih belum tenang bagaimana aku bisa tenang melihat ayahku
dalam kondisi seperti itu. Tak berapa lama
datang kakakku yang baru melangsungkan pernikahan bersama suaminya
k’anchu juga nenek dan tante-tanteku yang lain(kakakku memang baru di beritahu
saat pagi kalau ayah di larikan di rumah sakit karena tak ingin mengganggu masa
bahagianya dulu).
Secara bergiliran keluargaku
masuk satu persatu menjenguk ayah, mendoakan ayah dan hampir tak ada yang tak
mengeluarkan airmata melihat kondisi ayahku saat itu terutama nenekku(ibu dari
ayahku). Usai mereka menjenguk mereka pun pulang, aku mendapat tugas menjaga
ayahku. Beberapa menit berselang datang kakak lelakiku anwar untuk menemaniku. Saat
kami menjaga, bebrapa kali datang dokter untuk memeriksa atau sekedar
mengontrol kondisi ayah. Dan saat yang paling memberatkanku adalah ketika ayah
harus di pasangi keteter (alat bantu buang air kecil), entah mengapa sangat
sulit dilakukan bahkan utnuk kali ketika pemasangannya pun di batalkkan karena
melihat ayahku begitu kesakitan ketika alat tersebut di kenakan. Tak hanya itu
ayahpun juga dipasangi selang makanan yang dimasukkan melewati rongga hidung
hingga masuk sampai ke bagian perut ayahku. Awalnya sedikit kesusahan namun
alhmadulilah akhirnya dapat terpasang dengan arahan perawat yang terus
menyemangati ayah juga kami.
Kami berdua menjaga ayah dengan
sesekali kami melihat ke sekeliling yang rupanya juga prihatin melihat kondisi
ayahku, tak terkecuali para medis satu persatu hilir mudik mengecek kondisi
ayah.
keadaan tak berubah hingga aku di ganti oleh kakak perempuanku 2 orang (ayu dan
wana). Aku ke rumah untuk beristirahat. Di rumah beberapa kali kami menghubungi
kakakku untuk menanyakan kondisi ayah ternayata jawabnya pun sama, tak ada yang
berubah padahal hasil labnya sudah keluar.
Malam hari, aku, ibu,adekku serta beberapa anggota keluarga yang lain
kembali bergegas ke rumah sakit. Sesampai disana kembali satu persatu kami
masuk menjenguk ayah, aku melihat ada tambahan lagi pendeteksi detak jantung
tertempel di dada ayah, aku makin tak karuan, bagaimana tidak siang tadi saat
aku jaga aku melihat bagaimana hidung ayah di masukkan selang untuk menyalurkan
makanan, keteter yang begitu menyiksa ayahku dan baru bisa di pasang pada
percobaan yang ke empat itupun di lakukan oleh 3 orang dokter, padahal biasanya
perawat biasa pun bisa melakukannya. ‘’Semoga semua baik-baik saja yaa Robb..’’
desirku dalam hati.
Ayu dan wana pamit pulang duluan,
di ganti ibu dan yana adekku. Aku sempat sedikit berbicara sama ayah walaupun
tak ada lagi respon seperti siang tadi, ingin rasanya aku menangis. Aku
menyampaikan salam dari nenekku yang kebetulan malam itu harus pulang ke
kampung. Kemudian aku pamit pulang karena besok harus kuliah. Rupanya ayahku
tak merespon lagi, yaa Robb... jagalah ayahku pikirku saat itu.
Usai menjenguk kami tak langsung
ke rumah, kami di ajak k’anchu pergi sedikit refreshing sekaligus mengisi perut
di luar kemudian kembali ke rumah dan beristirahat.
Dan tepat pukul 01.30 hp k’wana berdering,
rupnya telepon dari adekku yana. Setelah sebelumnya perasaan tak mengenakkan
menganggu tidurku sama persis persaanku saat akan berangkat bersama ayah ke
acara resepsi di hotel malam itu. Ia mengatakan kondisi ayah menurun drastis
dan kami harus segera kesana, jantung ayah berdetak tidak dengan sewajarnya
sehingga tim medis segera bertindak dengan cepat meminta izin kepada ibu agar
ayah di pasangi alat pacu jantung karena menurut dokter ayahku sekarang berada
pada kondisi TERBURUK DARI YANG TERBURUK dan dengan alat pacu jantung ini harapan
yang diberikan pun kecil, namun jika tidak segera di pasangi akan lebih
membahayakan lagi. Oleh sebab itu ibu dengan pertimbangan cepat dan
mengharapkan yang terbaik akhirnya menyetujuinya.
Tubuh ini langsung melemas
mendengar penuturan dari adekku itu, dengan tangan gemetar ku raih kunci motor
di tempat gantungan dan segera melaju bersama ayu ke rumah sakit disusul
keluarga yang lain dengan memakai mobil.
Sesampai di sana, ternyata ayahku
sudah di ruang khusus di kelilingi tim medis dengan semua alat-alat medis lengkap
terpasang di tubuhnya. Kulihat dengan tenang wajah ayahku kami semua menangis,
detak jantungnya mulai menurun, kulihat di layar monitor dari 90 beranjak pelan
ke 95 kemudian terus turun hingga 70. Yaa Robb.. aku kalut, tak berapa lama
datanglah semua anggota keluargaku adekku dika sempat dilarang masuk karena ia
masih di bawah umur tapi karena alasan ayahku sedang sakaratul maut akhirnya di ijinkan masuk oleh
penjaga keamanan. Disaat Semua keluarga
sudah berkumpul rupanya kakakku anwar belum terlihat, ternyata ia sedang di
kosan temannya untuk tidur karena memang ia belum sempat tidur sejak ayahku di
larikan ke rumah sakit, berkali-kali di telpon justru tak di angkat, akhirnya
ayu menelpon teman kakakku yang di jakarta setelah itu temannya itu yang
menghubungi temannya yang lain untuk memberi kabar kakakku.
kami bertambah kalut, ibu berupaya melepaskan bantuan oksigen di mulut ayah
yang menurutnya tak membantu. Karena menurutnya ayah sudah tak ada harapan lagi
dan justru menyusahkan ayahku dalam menghadapi sakaratul mautnya, tapi kami
melarang, sedang kakakku ani mulai menuntun ayahku untuk mengucapkan ‘’laa ilaaha illallah’’ terus
menerus.
Kondisi ayah semakin memburuk, tim medis mulai
menyingkir memberi kami keleluasaan untuk menuntun ayah hingga kami melihat
pada layar monitor detak jantung ayah 0 yang mana berarti ayahku telah di ambil
kembali oleh penciptanya. Tim medis kemudian dengan cepat kembali berkumpul,
ada yang memompa dada, menyutikkan obat ke (maaf) bagain belakang bawah ayahku
yang mnurutku percuma meski sempat detak jantungnya kembali terbaca di monitor
tapi ayah sudah tak bergerak lagi. Ayahku telah pergi. Detak jantung yang kembali terbaca itu
hanyalah reaksi obat-obatan yang di suntikkan.
Di tengah kesedihan itu, kakakku
anwar datang dengan ekspresi penyesalan dan berdiri di samping tubuh ayah yang
sudah tak ber ruh lagi. Ia kemudian mencoba menenangkan ibu yang rupanya mulai
di rundu sedih. Setelah semuanya agak tenang perlahan semua alat-alat medis
yang terpasang pada tubuh ayah di lepas oleh seorang perawat.
Tepat
di depan wajahnya aku berdiri.
Kuciumi
wajahnya untuk yang terakhir kali
Yaa
Robb, sungguh takdirmu tiada yang mengetahui
Jagalah
ayahku, terimalah semua amalnya
Ampunkan
segala dosa-dosanya
Tempatkanlah
ia di sisiMu, Aaminn...
Ku tatap dalam-dalam wajah itu,
ayah.... selamat jalan, sekarang ayah sudah betul-betul bisa beristirahat
dengan tenang, ayah tak perlu lagi tersiksa
dengan sesak nafas, asam urat, kolestrol tinggi, darah tinggi, prostat, kencing
nanah, semua sudah pergi ayah.. insyaa Allah semua sakit yang ayah rasakan akan
menjadi penggugur dosa-dosa ayah selama ini. Kami akan selalu mendoakanmu yah..
kami akan berusaha menjadi anak yang sholeh dan sholeha yang bisa membantu
orang tuanya di tempat dimana dunia ini tak bernilai apa-apa. Innalillahi wa
inna ilaihi roojiun.
Jasad ayah di tutup dan di bawa
ke ruang jenazah untuk kemudian di bawa dengan ambulans menuju rumah duka. Ibu
dan yang lainnya lebih dulu ke rumah untuk memberi tahu keluarga di rumah
sekaligus membuka hiasan-hiasan acara walimahan kakak yang masih terpasang di
dinding-dinding rumah. Aku beserta k’anwar, ayu dan tanteku asma ikut bersama
jasad ayah dalam ambulans, sedang ani ikut dengan mobil suaminya di depan
memberi petunjuk jalan.
Ambulans mulai berlalu, aku
betul-betul terhenyak di dalamnya, aku duduk tepat di kursi samping kepala ayah,
aku terus mengelus wajahnya. Sirene ambulans di nyalakan sepanjang perjalanan menambah kekalutanku.
Ayah yang selalu menelpon menanyakan kabar anak-anaknya, Ayah yang selalu
membanggakan anak-anaknya ke semua keluarga juga pada teman-temannya, ayah yang
tegas, wibawa, dan sangat karismatik itu kini telah tiada.
Pemakaman ayahku awalnya di
rencanakan di kampung tepatnya di desa Opo kabupaten Bone, namun melihat
kondisi anak-anaknya lebih banyak berdomisili di makassar, akhirnya di putuskan
beliau di kebumikan di makassar saja tepatnya di TPU sudiang. Dan waktu
pemakamannya dilaksanakan ba’da ashar karena menunggu nenekku yang baru saja
tiba di kampung untuk balik ke makassar lagi.
Kehadiran ambulans rupanya di
sambut isak tangis semua penghuni rumah yang masih belum menyangka secepat itu
ayahku pergi. Ia pergi disaat baru selesai melangsungkan pernikahan putrinya.
Ia pergi usai menyatukan kembali anak-anaknya yang sempat saling tak tegur sapa
satu sama lain. Ia pergi di di saat usai menyapa semua keluarganya. Dan ia
pergi di saat semua orang begitu mencintainya.
Ayah.. rupanya engkau lebih dulu
menyusul adikku alm. Evi yang pada tangga 07 agustus berpulang ke rahmatullah.
Ayah..
Terlalu cepat rasanya semua
kebahagiaan ini berlalu.
Masih teringat bagaimana engkau
mengantarkan kami ke sekolah. Bagaimana kau dengan sangat bersemangat mengambil
rapor hasil ujianku saat masih sekolah dulu. Bagaimana kau dengan tegas
membatasi pergaulan kami. Bagaimana kau mengajarkan kami untuk tak
bermanja-manja ketika sakit. Bagaimana kau mengajarkan kami untuk terus belajar
akan nilai kehidupan yang bukan hanya di petik di bangku sekolahan.
Ayah...
Kami sangat mencintaimu.
Kami begitu merindukanmu.
Kami akan selalu mendoakanmu.
Sasra mirawati
“in memorian, my dad”